Sejarah Berdirinya Daulah Fatimiyah samapai berkhirnya

Dalam kajian sejarah Islam, pembahasan mengenai Daulah Umayyah dan Abbasiyah sering kali mendominasi perhatian. Namun di antara kedua dinasti besar itu, ada satu kekhalifahan yang tidak hanya unik dari sisi akidah, tetapi juga memainkan peran penting dalam dinamika politik, budaya, ekonomi, dan perkembangan pengetahuan pada abad pertengahan. Dinasti tersebut adalah Daulah Fatimiyah, sebuah kekhalifahan Syiah Ismailiyah yang berdiri di Afrika Utara dan kemudian berpusat di Mesir selama hampir tiga abad. Mengulas sejarah Daulah Fatimiyah tidak hanya membawa kita pada penelusuran tentang bagaimana dinasti ini lahir dari jaringan dakwah rahasia, tetapi juga bagaimana mereka mencapai kejayaan hingga akhirnya runtuh akibat pergolakan internal serta tekanan dari luar. Artikel ini akan menguraikan perjalanan panjang Daulah Fatimiyah mulai dari berdirinya, proses ekspansi, masa keemasan, hingga faktor-faktor yang menyebabkan keruntuhannya.
1. Latar Belakang Berdirinya Daulah Fatimiyah
Berdirinya Daulah Fatimiyah berakar pada perkembangan ideologis dari kalangan Syiah Ismailiyah yang menyebarkan dakwah secara rahasia di berbagai wilayah dunia Islam. Mereka meyakini bahwa kepemimpinan umat Islam harus berada di tangan keturunan Nabi Muhammad melalui jalur Sayyidah Fatimah. Karena itu, nama Fatimiyah dipilih sebagai simbol legitimasi yang kuat. Pada periode menjelang berdirinya dinasti tersebut, dunia Islam berada dalam kondisi politik yang tidak stabil. Kekhalifahan Abbasiyah mengalami pelemahan akibat munculnya dinasti-dinasti lokal yang menguasai wilayahnya sendiri. Afrika Utara saat itu berada di bawah Dinasti Aghlabiyah yang memerintah dengan keras, sehingga menjadi lahan subur bagi gerakan dakwah Ismailiyah.
Dalam situasi inilah muncul seorang tokoh bernama Ubaidillah al-Mahdi Billah, yang dipercaya oleh komunitas Ismailiyah sebagai imam dan pemimpin yang sah. Dengan dukungan suku Berber Kutama yang telah dibina oleh para dai Ismailiyah, Ubaidillah berhasil menggulingkan Aghlabiyah pada tahun 909 M. Ia kemudian memproklamasikan berdirinya Daulah Fatimiyah di kota Mahdiyah, Tunisia. Peristiwa ini sekaligus menjadi deklarasi terbukanya kekuatan politik baru yang kelak menjadi rival utama Abbasiyah di Baghdad. Sejak saat itu, sejarah Daulah Fatimiyah memasuki babak penting dalam perkembangan politik Islam abad pertengahan.
2. Masa Ekspansi dan Konsolidasi Kekuasaan
Setelah berdiri, Daulah Fatimiyah memusatkan perhatian pada stabilitas internal dan perluasan wilayah. Pada masa awal pemerintahannya, para khalifah Fatimiyah memperkuat kontrol mereka atas Afrika Utara. Suku Berber Kutama yang menjadi kekuatan utama militer Fatimiyah sangat setia sehingga membantu menjaga kestabilan negara. Para khalifah juga mendirikan sistem administrasi dan perpajakan yang lebih teratur dibanding pemerintahan sebelumnya. Dalam beberapa dekade pertama, dinasti ini berhasil menumpas berbagai pemberontakan, termasuk pemberontakan besar Abu Yazid yang hampir menggoyahkan fondasi negara.
Namun, ekspansi terbesar dalam sejarah Daulah Fatimiyah terjadi ketika mereka berhasil menaklukkan Mesir. Pada tahun 969 M, Khalifah al-Mu’izz li Dinillah mengirim panglima kepercayaannya, Jauhar as-Siqilli, untuk memimpin ekspedisi militer menuju Mesir yang saat itu dikuasai Dinasti Ikhsyidiyah. Penaklukan ini berlangsung hampir tanpa perlawanan, menunjukkan lemahnya pemerintahan setempat dan kuatnya organisasi militer Fatimiyah. Setelah Mesir dikuasai, Jauhar mendirikan kota baru bernama al-Qahirah (Kairo), yang kelak dijadikan ibu kota Fatimiyah. Mesir dipilih sebagai pusat pemerintahan karena letaknya yang strategis di jalur perdagangan internasional serta sumber daya alam yang melimpah. Keputusan memindahkan pusat kekhalifahan ke Mesir menandai fase baru di mana Fatimiyah berkembang menjadi kekuatan besar di dunia Islam.
3. Masa Keemasan Daulah Fatimiyah
Masa keemasan Daulah Fatimiyah terutama terlihat pada abad ke-10 hingga 11 M, ketika Kairo berubah menjadi pusat ilmu pengetahuan, kebudayaan, perdagangan, dan politik yang sangat berpengaruh. Salah satu pencapaian terbesar mereka adalah pembangunan Universitas al-Azhar, yang didirikan tidak lama setelah penaklukan Mesir. Awalnya, al-Azhar dibangun sebagai lembaga pendidikan Syiah Ismailiyah, namun seiring waktu ia berkembang menjadi salah satu universitas tertua dan paling berpengaruh di dunia. Di samping al-Azhar, Fatimiyah juga mendirikan Dar al-Hikmah, sebuah lembaga penelitian dan perpustakaan besar yang menjadi pusat kegiatan ilmiah berbagai cabang ilmu seperti astronomi, kedokteran, filsafat, dan matematika.
Kemajuan intelektual ini didukung oleh kondisi ekonomi yang sangat kuat. Mesir menjadi simpul perdagangan antara Timur dan Barat. Fatimiyah menguasai jalur perdagangan penting di Laut Merah, termasuk perdagangan rempah dari India dan Afrika Timur. Administrasi negara yang efektif, ditambah kebijakan ekonomi yang cerdas, membuat kas negara berlimpah. Kelebihan ini memungkinkan pembangunan infrastruktur besar seperti istana, jalan, saluran air, dan lembaga pendidikan. Selain itu, pemerintahan Fatimiyah dikenal cukup toleran terhadap perbedaan agama. Banyak jabatan penting yang justru dipegang oleh warga Kristen Koptik dan Yahudi, sehingga kehidupan sosial-politik di Kairo menjadi inklusif dan stabil.
Pada masa kejayaan ini, sejarah Daulah Fatimiyah mencatat bahwa dinasti tersebut pernah menjadi kekuatan politik yang sangat disegani. Mereka tidak hanya bersaing dengan Abbasiyah di Baghdad, tetapi juga memainkan peran penting dalam dinamika wilayah Hijaz, termasuk pengelolaan kota suci Mekah dan Madinah. Keberhasilan Fatimiyah dalam mengelola negara membuat mereka menjadi salah satu dinasti Islam paling berpengaruh sepanjang sejarah.
4. Masa Kemunduran dan Keruntuhan Daulah Fatimiyah
Setelah periode panjang kejayaan, Daulah Fatimiyah mulai mengalami kemunduran sejak abad ke-11 M. Salah satu penyebab utama runtuhnya dinasti ini adalah konflik internal yang tak kunjung selesai. Setelah pemerintahan Khalifah al-Mustansir Billah, keluarga kerajaan terpecah menjadi dua faksi yang saling berebut kekuasaan. Di saat yang sama, muncul persaingan antara kekuatan militer yang terdiri dari pasukan Turki, Berber, dan Sudan. Pergolakan ini melemahkan stabilitas negara dan meruntuhkan kewibawaan pusat pemerintahan.
Di sisi eksternal, ancaman besar datang dari pasukan salib Eropa yang memulai Perang Salib pada tahun 1095 M. Wilayah Palestina dan Syam yang sebelumnya berada dalam pengaruh Fatimiyah menjadi sasaran serangan pasukan salib. Pada tahun 1099 M, Yerusalem berhasil direbut oleh pasukan salib, sebuah pukulan besar terhadap Fatimiyah. Kekalahan ini menunjukkan kelemahan militer mereka yang tidak lagi sekuat masa sebelumnya, akibat konflik internal dan melemahnya ekonomi negara.
Faktor lain yang memperparah kondisi adalah bencana kelaparan hebat yang melanda Mesir selama tujuh tahun pada masa al-Mustansir. Krisis ini dikenal sebagai al-Syiddah al-Mustansiriyyah. Krisis ekonomi menyebabkan pembangkangan daerah, merosotnya moral rakyat, dan semakin lemahnya kekuatan negara. Pada fase akhir, muncul tokoh penting bernama Salahuddin al-Ayyubi yang diangkat sebagai wazir Mesir oleh khalifah terakhir, al-Adid. Salahuddin, yang berhaluan Sunni, mulai menetapkan kebijakan baru yang mengembalikan Mesir ke dalam mazhab Sunni. Pada tahun 1171 M, khutbah Jumat di Kairo tidak lagi menyebut nama khalifah Fatimiyah, menandai akhir resmi kekhalifahan tersebut. Setelah al-Adid wafat, negara beralih ke kekuasaan Dinasti Ayyubiyah yang didirikan oleh Salahuddin.
5. Kesimpulan
Sejarah Daulah Fatimiyah memberikan gambaran jelas tentang bagaimana ideologi, dakwah, dan strategi politik dapat membentuk sebuah dinasti besar yang berpengaruh dalam sejarah Islam. Fatimiyah berhasil membangun pusat peradaban yang maju dalam ilmu pengetahuan, ekonomi, kebudayaan, dan pemerintahan. Namun, seperti banyak dinasti besar lainnya, mereka juga tidak luput dari kelemahan internal berupa perebutan kekuasaan dan konflik militer. Pada akhirnya, tekanan eksternal seperti Perang Salib serta munculnya figur kuat seperti Salahuddin turut mempercepat keruntuhan mereka. Meski demikian, warisan Fatimiyah terutama Universitas al-Azhar menjadi bukti kejayaan intelektual dan budaya yang terus hidup hingga hari ini.
Sebagai penutup, sebuah pertanyaan dapat kita renungkan bersama: Dalam runtuhnya sebuah dinasti besar seperti Fatimiyah, menurut Anda manakah yang lebih berpengaruh—persoalan internal atau ancaman eksternal?
Referensi
Heinz Halm, The Fatimids and their Traditions of Learning. I.B. Tauris, 1997.
Will Durant, The Story of Civilization: The Age of Faith. Simon and Schuster, 1950.
J. J. Saunders, A History of Medieval Islam. Routledge, 1965.
Hugh Kennedy, The Prophet and the Age of the Caliphates. Pearson, 2004.